|
PADA era globalisasi dan modernisasi ini, berbicara
tentang bahasa daerah—yang umumnya merupakan bahasa ibu di Nusantara
tercinta—boleh jadi bukan sesuatu yang menarik dan menantang. Pembaca tak
perlu terkejut akan hal ini karena kenyataan menunjukkan bahwa pamor bahasa
daerah sudah kalah (jauh) dibandingkan dengan bahasa nasional kita, apalagi
dengan bahasa Inggris—yang dijuluki bahasa internasional—walaupun sebenarnya
belum separo penduduk dunia menggunakannya sebagai alat komunikasi
antarbangsa. Tetapi barangkali ada orang yang tergelitik untuk bertanya: Jika
demikian, mengapa masih ada sejumlah orang yang terus mengurusi bahasa daerah
walaupun usaha mereka itu boleh dikatakan ibarat mengutak-atik gerbong tua
yang diharapkan kembali berjalan di atas rel yang baru? Orang boleh saja
mencibir bahasa daerah yang dianggap tidak mendatangkan aliran tunai ke
kantong atau rekeningnya. Namun dari sudut pandang budaya, orang yang (masih)
mencintai budaya bangsanya akan menangis dalam hati memikirkan nasib bahasa-bahasa
daerah yang pada umumnya tak kunjung mengalami perbaikan dan kemajuan, malah
makin tersudut dalam percaturan kebahasaan di dusun global ini.
|
Wonten
jaman modern samenika, ngrembag
perkawis basa daerah ingkang limrahipun dados bahasa ibu wonten masarakat menika sampun boten angsal
kawigatosanipun. Wonten
kasunyatanipun, basa daerah menika sampun kalah kaliyan bahasa nasional
kula panjenengan sedaya ( Bahasa Indonesia), punapa malih kaliyan basa
Inggris—ingkang dados basa internasional. Ananging saking sudut pandang budaya, taksih wonten
tiyang ingkang sami ngrembag dhateng basa
daerahipun, tiyang-tiyang ingkang taksih tresna
marang budaya bangsanipun menika sami susah amargi basa daerahipun sampun
boten wonten ingkang nglestantunaken.
|
|
Disadari
atau tidak, hegemoni bahasa sedang terjadi di dalam masyarakat dan lingkungan
hidup kita. Dan tentu saja bahasa-bahasa “besar” yang dianggap “lebih
bermanfaat” itulah yang memiliki hegemoni.
Karena
asas manfaat itu pula, maka setiap orang yang hendak mempelajari sebuah
bahasa baru biasanya memperhatikan terlebih dahulu manfaat (ekonomi) dari
bahasa itu. Apakah bahasa yang baru dipelajari itu akan mendatangkan
keuntungan material bagi dirinya? Bahasa-bahasa “besar” pun kadang-kadang
menjadi objek pertimbangan untung-rugi. Misalnya ketika hendak belajar bahasa
Spanyol atau Mandarin, orang akan bertanya mana di antara kedua bahasa
tersebut yang lebih menguntungkan, misalnya dalam pasar kerja internasional.
Tidak ada salahnya, karena mempelajari bahasa baru juga merupakan investasi.
Tetapi tentu prinsip untung-rugi ini akan berdampak sangat negatif jika
diterapkan juga pada bahasa daerah.
Apabila
setiap pribadi mengedepankan aspek di atas dalam menyikapi bahasa daerah,
maka sudah nyaris pasti bahwa bahasa-bahasa daerah, karena dianggap tidak
berguna secara ekonomi, akan ditinggalkan. Tidak mengherankan jika orang
berkata: “Untuk apa capai-capai dan buang waktu belajar bahasa yang tidak
laku di pasar?” Para orang tua yang berpikir bahwa bahasa daerah tidak ada
faedahnya bagi kehidupan masa depan tidak akan bersedia mewariskan bahasa
ibunya kepada anak-anaknya.
|
Hegemoni basa samenika sampun kadadosan wonten
masarakat. Saged
dipuntingali bilih samenika basa Indonesia saha basa Inggris langkung dominan utawi langkung dipunginakaken.
Pramila saking menika tiyang ingkang bade sinau basa kedah milah-milah basa
menapa ingkang saged paring manfaat ageng utamanipun wonten bidang ekonomi.
Boten lepat bilih masarakat lajeng sinau basa-basa ingkang potensial wonten bidang ekonomi,
ananging kahanan menika ndadosaken basa daerah langkung boten dipungatosaken
kawontenanipun. Saking menika, tiyang sepuh anggadhahi
pamanggih bilih basa daerah menika boten saged maringi manfaat kangge masa depan lajeng boten ngajaraken bahasa ibunipun marang putra
putrinipun.
|
|
Lain
halnya dengan UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural
Organization). Menyadari betul betapa pentingnya bahasa ibu bagi
kehidupan umat manusia, maka pada tanggal 21 Februari 1991 di Paris, lembaga
PBB ini mencanangkan Hari Bahasa Ibu Sedunia, yang diharapkan dapat
berlangsung setiap tahun guna memajukan keanekaragaman budaya dan bahasa
dunia. Diharapkan dengan peringatan hari bahasa ini setiap individu, lembaga,
dan pemerintah dapat melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi pelestarian dan
kelestarian bahasa ibu di setiap negara, khususnya melalui pendidikan, dengan
mengenalkan bahasa ibu/daerah sejak dini kepada anak-anak agar bahasa ini
tidak punah, karena mereka adalah generasi penerus bangsa.
|
Beda malih
kaliyan UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural
Organization), ingkang gadhah pamanggih bilih basa daerah utawi basa ibu
menika wigati sanget. Pramila tanggal
21 Februari 1991 wonten Paris, UNESCO ndadosaken tanggal menika
minangka tanggal Hari Bahasa Ibu
Sedunia, pangajabipun saged dipunpengeti saben tahunipun lajeng saged dados sarana nglestantunaken
budaya saha basa-basa
daerah wonten donya. Ancas saking dipunwontenaken
dinten basa ibu menika supados saben tiyang saged nglestantunaken basa ibu bangsanipun, mliginipun
sarana pendhidhikan, kanthi ngajaraken basa ibu
(basa daerah) wiwit saking alit wonten ing padintenan supados tepang kaliyan
basa ibunipun.
|