Nyerat Karya Ilmiah I

Posted by : Rachmawati 0 Comments
Basa Daerah: Budaya Daerah ingkang Kedah Dipunlestantunaken


Wonten jaman modern  samenika, budaya daerah utamanipun basa daerah menika dados perkawis ingkang sampun boten dipungatosaken dening masarakat. Wonten kasunyatanipun, pamor bahasa daerah menika sampun kalah kaliyan bahasa nasional kita, punapa malih bahasa Inggris—ingkang dipunsebat basa internasional—basa ingkang dipunginakaken kaliyan sedaya tiyang mancanegara kangge komunikasi senajan dereng sedaya bangsa ngginakaken basa Inggris wonten padintenanipun. Lajeng, kenging menapa taksih wonten tiyang ingkang ngrimat basa daerahipun? Sanajan usaha kados mekaten boten gampil. Mbetahaken usaha, mliginipun kangge tiyang ingkang taksih tresna kaliyan budaya daerahipun.
Sadar utawi boten hegemoni basa samenika sampun kedadosan wonten lingkungan kita. Ananging, saged dipuntingali bilih basa daerah mesthi kalah saking basa-basa ageng, kadosta basa Indonesi saha basa Inggris. Pramila saking menika tiyang ingkang bade sinau basa kedah milah-milah basa menapa ingkang saged paring manfaat ageng utamanipun wonten bidang ekonomi. Boten lepat bilih masarakat lajeng sinau basa-basaa ingkang potential wonten bidang ekonomi, ananging kahanan menika dadosaken basa daerah langkung boten dipungatosaken. Bilih tiyang-tiyang boten nggatosaken basa daerahipun, basa menika saged dipuntilar lajeng boten dipunuri-uri malih.
Beda malih kaliyan UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization), ingkang gadhah pamanggih bilih basa daerah utawi basa ibu menika wigati sanget. Pramila wiwit tanggal 21 Februari 1991, UNESCO ndadosaken tanggal menika minangka tanggal dinten basa ibu sadunya. Wiwit alit basa ibu (basa daerah) menika kedah dipunajari saha dipunsinau, wonten padintenan ngginakaken basa ibu supados tepang kaliyan basa ibunipun. Ancas saking dipunwontenaken dinten basa ibu menika supados saben tiyang saged nglestantunaken saha basa ibu menika langkung lestantun wonten saben negari, mliginipun sarana pendhidhikan.

Dening:
Rachmawati
Puput Handayani

Kelas K Nyerat Karya Ilmiah




Sumber:

Bahasa Daerah: Kekayaan Budaya Yang Harus Tetap Lestari*
21 Februari, 2013 | Edisi: #31 | Kategori: Berita Gejala
PADA era globalisasi dan modernisasi ini, berbicara tentang bahasa daerah—yang umumnya merupakan bahasa ibu di Nusantara tercinta—boleh jadi bukan sesuatu yang menarik dan menantang. Pembaca tak perlu terkejut akan hal ini karena kenyataan menunjukkan bahwa pamor bahasa daerah sudah kalah (jauh) dibandingkan dengan bahasa nasional kita, apalagi dengan bahasa Inggris—yang dijuluki bahasa internasional—walaupun sebenarnya belum separo penduduk dunia menggunakannya sebagai alat komunikasi antarbangsa. Tetapi barangkali ada orang yang tergelitik untuk bertanya: Jika demikian, mengapa masih ada sejumlah orang yang terus mengurusi bahasa daerah walaupun usaha mereka itu boleh dikatakan ibarat mengutak-atik gerbong tua yang diharapkan kembali berjalan di atas rel yang baru? Orang boleh saja mencibir bahasa daerah yang dianggap tidak mendatangkan aliran tunai ke kantong atau rekeningnya. Namun dari sudut pandang budaya, orang yang (masih) mencintai budaya bangsanya akan menangis dalam hati memikirkan nasib bahasa-bahasa daerah yang pada umumnya tak kunjung mengalami perbaikan dan kemajuan, malah makin tersudut dalam percaturan kebahasaan di dusun global ini. Disadari atau tidak, hegemoni bahasa sedang terjadi di dalam masyarakat dan lingkungan hidup kita. Dan tentu saja bahasa-bahasa “besar” yang dianggap “lebih bermanfaat” itulah yang memiliki hegemoni.
Karena asas manfaat itu pula, maka setiap orang yang hendak mempelajari sebuah bahasa baru biasanya memperhatikan terlebih dahulu manfaat (ekonomi) dari bahasa itu. Apakah bahasa yang baru dipelajari itu akan mendatangkan keuntungan material bagi dirinya? Bahasa-bahasa “besar” pun kadang-kadang menjadi objek pertimbangan untung-rugi. Misalnya ketika hendak belajar bahasa Spanyol atau Mandarin, orang akan bertanya mana di antara kedua bahasa tersebut yang lebih menguntungkan, misalnya dalam pasar kerja internasional. Tidak ada salahnya, karena mempelajari bahasa baru juga merupakan investasi. Tetapi tentu prinsip untung-rugi ini akan berdampak sangat negatif jika diterapkan juga pada bahasa daerah.
Apabila setiap pribadi mengedepankan aspek di atas dalam menyikapi bahasa daerah, maka sudah nyaris pasti bahwa bahasa-bahasa daerah, karena dianggap tidak berguna secara ekonomi, akan ditinggalkan. Tidak mengherankan jika orang berkata: “Untuk apa capai-capai dan buang waktu belajar bahasa yang tidak laku di pasar?” Para orang tua yang berpikir bahwa bahasa daerah tidak ada faedahnya bagi kehidupan masa depan tidak akan bersedia mewariskan bahasa ibunya kepada anak-anaknya.
Lain halnya dengan UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization). Menyadari betul betapa pentingnya bahasa ibu bagi kehidupan umat manusia, maka pada tanggal 21 Februari 1991 di Paris, lembaga PBB ini mencanangkan Hari Bahasa Ibu Sedunia, yang diharapkan dapat berlangsung setiap tahun guna memajukan keanekaragaman budaya dan bahasa dunia. Diharapkan dengan peringatan hari bahasa ini setiap individu, lembaga, dan pemerintah dapat melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi pelestarian dan kelestarian bahasa ibu di setiap negara, khususnya melalui pendidikan, dengan mengenalkan bahasa ibu/daerah sejak dini kepada anak-anak agar bahasa ini tidak punah, karena mereka adalah generasi penerus bangsa.